ASEAN FREE
TRADE AREA (AFTA)
Kelompok
Ade Melisa (20212126)
Eva Nor Octania (22212575)
Indriyani Rachmawati (28212419)
Ine Lettysia (23212728)
Malicha Aulia Zatalini (24212401)
SMAK06-3
ASEAN Free Trade Area
(AFTA) merupakan wujud kesepakatan dari negara-negara ASEANuntuk membentuk
suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi
kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia
serta serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya.AFTA
dibentuk pada waktu Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura
tahun 1992.Para kepala negara mengumumkan pembentukan suatu kawasan perdagangan bebas
di ASEAN (AFTA) dalam jangka waktu yang ditargetkan yaitu 15 tahun, kemudian dipercepat menjadi tahun 2003 dan terakhir dipercepat
lagi menjadi tahun 2002.Skema Common Effective Preferential Tariffs For ASEAN
Free Trade Area ( CEPT-AFTA) merupakan suatu skema untuk mewujudkan AFTA melalui beberapa program : program
pengurangan tingkat tarif yang secara efektif sama di antara
negara- negara ASEAN hingga menjadi 0-5%, program penghapusan
pembatasan kuantitatif dan hambatan-hambatan non tarif lainnya dan program
untuk mendorong kerjasama dan mengembangkan fasilitasi perdagangan
terutama di bidang bea masuk serta
standar dan kualitas.Perkembangan terakhir yang terkait dengan AFTA adalah
adanya kesepakatan untuk menghapuskan semua bea masuk impor barang bagi Brunai
Darussalam pada tahun 2010, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapura dan
Thailand, dan bagi Cambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam pada tahun 2015.Diharapkan
melalui kesepakatan dari program-program tersebut seluruh Negara anggota dapat
mencapai kesejahteraan seiring dengan implementasi dan peningkatan kegiatan
perdagangan dalam AFTA.
B. 1. Negara Anggota AFTA
Ketika persetujuan AFTA ditandatangani resmi, ASEAN
memiliki enam anggota, yaitu
sekarang terdiri dari sepuluh negara ASEAN. Keempat
pendatang baru tersebut dibutuhkan
untuk menandatangani persetujuan AFTA untuk
bergabung ke dalam ASEAN, namun diberi
kelonggaran waktu untuk memenuhi kewajiban penurunan
tarif AFTA.Sebagai contoh dari
keanggotaan AFTA adalah sebagai berikut, Vietnam
menjual sepatuke Thailand, Thailand
menjual radio ke Indonesia, dan Indonesia melengkapi
lingkaran tersebut dengan menjual
kulit ke Vietnam.
Melalui spesialisasi bidang usaha, tiap bangsa akan mengkonsumsi
lebih
banyak dibandingyang dapat diproduksinya sendiri.
2. Tujuan dari AFTA
5.
3. Kriteria
Produk Dalam Konsep CEPT - AFTA
4. Beberapa
istilah dalam CEPT-AFTA
·
Inclusion List (IL) : daftar yang memuat cakupan
produk yang harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
o
Produk tersebut harus disertai Tarif Reduction
Schedule.
o
Tidak boleh ada Quantitave Restrictions
(QRs).
o
Non-Tarif Barriers (NTBs) lainnya harus dihapuskan
dalam waktu 5 tahun.
·
Temporary Exclusion (TEL) :
daftar yang memuat cakupan produk yang sementara dibebaskan dari kewajiban
penurunan tarif, penghapusan QRs dan NTBs lainnya serta secara bertahap harus
dimasukkan ke dalam IL.
·
Sensitive List (SL) : daftar yang memuat cakupan
produk yang diklasifikasikan sebagai Unprocessed Agricultural Products.
Contohnya beras, gula, produk daging, gandum, bawang putih, dan cengkeh,
serta produk tersebut juga harus dimasukkan ke dalam CEPT Scheme
tetapi dengan jangka waktu yang lebih lama. Contohnya Brunei Darussalam,
Indonesia, Malaysia, Philipina, Thailand harus telah memasukkan produk yang
ada dalam SL ke dalam IL pada tahun 2010, Vietnam pada tahun 2013, Laos dan
Myanmar pada tahun 2015, serta Kamboja pada tahun 2017.
·
General Exception (GE) List : daftar yang
memuat cakupan produk yang secara permanen tidak perlu untuk dimasukkan ke
dalam CEPT Scheme dengan alas an keamanan nasional,
keselamatan/kesehatan umat manusia, binatang dan tumbuhan, serta pelestarian
objek arkeologi, dan sebagainya (Article 9b of CEPT Agreement).
Contohnya antara lain senjata, amunisi, da narkotika. Produk Indonesia dalam
GE List hingga saat ini sebanyak 96 pos tarif.
5. Analisis
Pengaruh AFTA terhadap industri sektor rii dan sektor tenaga kerja
Bagaimana
pengaruh dari implementasi AFTA bagi sektor riil di Indonesia?
Dalam
pengertian umum sektor riil adalah sektor yang
menghasilkan barang, contohnya: pertanian, pertambangan, dan industri. AFTA pada
dasarnya bisa dijadikan peluang bagi Indonesia untuk mengembangkan sektor riil
ini, karena dengan adanya adanya AFTA hasil produksi dari sektor riil dapat
dipasarkan secara lebih luas dalam artian peluang pemasaran produknya, sehingga jika semakin
banyak barang hasil produksi yang bisa dijual secara internasional (ekspor)
maka perusahaan-perusahaan akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dan
usahanya pun akan menjadi lebih berkembang. Selain itu dari kebijakan AFTA
yang diketahui memiliki kesepakatan untuk mengurangi biaya impor barang antar
negara juga akan mempermudah pihak produsen yang memang membutuhkan barang
modal dan bahan baku bagi produksi usahanya dari negara anggota ASEAN
lainnya. Bagi pihak konsumen atau rumah tangga juga AFTA memberikan
keuntungan karena jenis/ragam produk yang tersedia di pasar menjadi semakin
beragam dan bisa disesuaikan dengan kebutuhan. Intinya kerjasama antara
seluruh anggota AFTA akan semakin mudah dan terbuka dan secara tidak langsung
AFTA juga memicu perkembangan perekonomian Indonesia dari pendapatan
negaranya di bagian ekspor dan impor . Tapi dibalik itu AFTA juga memiliki
sisi negatif yang justru bisa membawa balik ke arah kerugian apabila sektor riil tidak bisa menyesuaikan dengan
keadaan, contohnya adalah membuat produk lokal Indonesia kalah saing apabila dibandingkan dengan
produk import. Jika sektor riil tidak berusaha untuk meningkatkan kualitas
produksinyan ataupun tidak bisa mempercepat waktu produksinya misalkan, maka
akan kalah bersaing dengan negara lainnya yang bisa memproduksi barang yang
lebih berkualiatas dan tepat waktu. Seperti
di sektor pertanian, produksi beras contohnya. Indonesia sebenarnya
salah satu negara penghasil beras yang cukup besar tapi Indonesia sendiri
ternyata masih harus mengimpor beras dari Thailand dan Vietnam untuk memenuhi
kebutuhan akan konsumsi berasnya. Hal ini ternyata disebabkan karena
Indonesia masih kalah daya saing produksi berasnya jika dibandingkan dengan
dua negara tersebut. Thailand dan Vietnam dianggap lebih mampu mengahsilkan
beras yang lebih berkualiatas dalam jumlah yang sangat banyak. Sedangkan
produksi beras di Indonesia dianggap masih lambat dan kurang berkualitas.
Atas dasar alasan ini kemudian yang membuat produk beras di Indonesia jatuh
dan kalah saing dengan produk beras impor dari Thailand dan Vietnam, sehingga
harga beras Indonesia pun jatuh di pasaran dan sektor pertanian di Indonesia
mengalami pemerosotan pendapatan. Tidak hanyak di sektor pertanian bagian
produksi beras saja, dibeberapa sektor riil lainnya pun ternyata Indonesia
masih memiliki daya saing yang lemah sehingga pada akhirnya hasil produksi
Indonesia kalah saing dengan produk impor dari negara ASEAN lainnya hal ini yang kemudian membuat beberapa
industri nasional gulung tikar . Solusi atas masalah ini salah satunya
adalah pengusaha/produsen Indonesia
disektor riil harus terus menerus
meningkatkan kemampuan dalam menjalankan bisnis secara profesional dan
juga kualitas daya saing barang produksinya guna dapat memenangkan kompetisi
dengan negara anggota ASEAN lainnya.
Bagaimana
pengaruh dari implementasi AFTA bagi sektor tenaga kerja di Indonesia?
Setelah menganalis pengaruh dari implementasi AFTA
di setor riil sekarang akan dibahas
pengaruhnya pada sektor tenaga kerja, infrastruktur
dan sumber daya manusia (SDM)
Indonesia dinilai belum siap menghadapi AFTA ini karena
dianggap kualitas SDM dan
infrastruktur kita belum cukup memadai. Pada
dasarnya AFTA memang sangat potensial
untuk memperluas jejaring pasar sekaligus menambah
insentif, karena tidak adanya lagi
pembatasan kuota produk. Namun, bagi Indonesia bukan melulu
keuntungan, sebab AFTA
juga bisa menjadi ancaman bila pemerintah RI tidak
mempersiapkan SDM dan infrastruktur
dalam negeri. Dampak terburuk ini justru mengancam
masyarakat lapisan paling bawah.
AFTA akan mempercepat proses deindustrialisasi dan
mempersempit kesempatan kerja. Bagi
perusahaan yang kurang efisien dan mengalami
kerugian dengan adanya implementasi AFTA
akan cenderung menahan biaya produksi melalui penghematan
penggunaan tenaga kerja
tetap, sehingga job security tenaga kerja menjadi
rapuh dan angka pengangguran diperkirakan
meningkat. Dalam jangka pendek AFTA itu bisa membuat
angka pengangguran
membengkak. Situasi ketenagakerjaan ini bisa
merapuhkan fundamental ekonomi Indonesia.
AFTA akan menjadi masalah baru dalam ketenagakerjaan
di Indonesia. Dalam
jangka pendek, diprediksi Indonesia akan mengalami neto negatif yang
tidak hanya
merugikan sektor industri dan ketenagakerjaan, tapi
juga penerimaan negara dari pajak. Oleh
karena itu SDM di Indonesia harus lebih dikembangkan
lagi dan diperbaiki kualitasnya agar
|
Sumber
: